Ihza menggerutu saat getaran ponselnya yang ia letakan dibawah bantal membangunkannya dari tidur. Ini hari– sabtu? Siapa yang sudah bangun pada pukul– tunggu pukul berapa ini? Ihza berguling ke samping untuk berbaring pada punggungnya, menyipitkan mata untuk melihat jam dinding yang bergantung tepat di depan kasurnya.
Pukul delapan. Pukul delapan pagi. Ihza memasukan tangannya kebawah bantal dan meraba mencari telepon genggamnya. Siapa yang sudah kehilangan akal sehatnya dan memangg— oh. Mas Rizal.
Ihza menarik napas singkat dan mengetes suaranya apakah terdengar cukup sopan untuk menerima panggilan dari client. Setelah berdehem beberapa kali untuk menghilanglan serak akibat bangun tidur, Ihza menekan tombol hijau pada telepon genggamnya.
"Pagi, Mas Rizal."
Ihza hanya menangkap bait-bait penting dari pembicaraan singkat tersebut seperti saya tidak bisa hadir dan rapat mendadak. Tidak repot-repot mendengarkan sisa kalimat, apalagi ambil pusing memikirkan orang macam apa mengadakan rapat pada hari Sabtu.
Dengan bersorak dalam hati Ihza mengakhiri panggilan sesopan mungkin. Akhirnya. Hari Sabtu untuk dirinya sendiri. Ihza baru akan kembali memejamkan mata ketika ponselnya bergetar singkat. Sambil mendesah, ia membuka kunci ponsel.
Pesan dari Mas Rizal. Tertulis 'Mas Ihza, calon istri saya hari ini free jadi ia yang akan datang melihat venue. Pukul 1 oke?'
Ihza menggeram kesal. Lalu menghela napas. Yasudahlah, hanya bertemu klien beberapa jam. Tidak seburuk itu, kan?
##
Apa-apaan. Apa-apaan. Tidak seburuk itu apanya.
Apa yang Ihza pikirkan saat beranggapan bahwa bertemu dengan klien tidak akan berjalan seburuk ini?
Right. Ihza berpikir bahwa calon pengantin kliennya adalah orang biasa. Orang biasa yang tidak memiliki ikatan atau pernah memiliki ikatan dengan Ihza. Tentu saja Ihza tidak menyangka bahwa calon istri kliennya adalah sahabat sejati Ihza. Ciuman pertama Ihza. Cinta pertama Ihza. Tentu saja Ihza tidak pernah menduga sekalipun bahwa Shila akan menjadi kliennya.
Sial. Sial. Sial. Sial.
Semesta pasti sedang mentertawakan Ihza sekarang.
Ihza sedang mengetik sesuatu di ponselnya saat suara mesin mobil memasuki halaman venue. Ihza tidak menoleh saat suara pintu mobil ditutup. Ihza baru menoleh saat suara familiar– terlalu familiar dan terlalu hangat memanggil namanya.
"Ihza?"
Dan seluruh tubuh Ihza terasa sakit.
##
"Jadi gimana, Mbak Shila? Suka sama venuenya?" Tanya Rio, rekan kerja Ihza. Sementara Ihza hanya bermain dengan jahitan kemejanya. Rupanya menjadi sangat menarik sekarang.
Shila mengangguk, "Suka. Cantik. Tapi terlalu besar." Ia berhenti sebentar. "Dan saya lebih suka jika bunganya peony."
Ihza mendongak, tatapannya bertemu dengan Shila. Right. Peony.
Beberapa percakapan kemudian Rio meminta maaf harus pergi duluan karena urusan penting dan meninggalkan Ihza dengan Shila. Hebat.
"Aku masih mau lihat-lihat." Kata Shila setelah keheningan yang canggung.
Ihza berjalan tanpa kata. Memandu Shila berkeliling. Venuenya cantik, kalau ia boleh jujur. Rumputnya hijau dan dipotong dengan rapi. Karpetnya lebih hijau dari rumputnya. Bunga-bunga berbaris membentuk garis indah dari pintu utama menuju gapura raksasa yang meniru cabang berliku dan membentuk ornamen yang indah dimana resepsi akan digelar.
Tapi ia tidak bisa berdiri di sini lebih lama lagi. Tidak dengan Shila berdiri di sampingnya, berpura-pura meneliti venue tetapi siapa yang ia bohongi? Ihza menangkapnya menatap Ihza dengan begitu banyak pertanyaan di matanya lebih dari satu kali sebelum kembali berpura-pura fokus pada apapun kecuali Ihza. Dan Ihza tidak bisa berdiri di sini lebih lama lagi.
"Kalau sudah–"
"How about some coffee?" Shila memotong sebelum Ihza sempat menyelesaikan kalimat. "Please?"
##
Dan di sini lah, Ihza. Di sebuah kedai kopi kecil dengan Shila di hadapannya. Terlihat sangat lembut menyesap kopinya. Ihza merasa ingin muntah dengan semua kenangan yang menyerangnya dari segala arah. Kalau itu belum parah, kedai kopi ini adalah kedai kopi favorit mereka. Well, pernah menjadi favorit mereka. Dulu. Ya, dulu.
Ihza berdehem, "Apa kabar, Shila?" Dan kalau suaranya bergetar, Itu merupakan urusannya seorang.
Perempuan di hadapan Ihza tersebut tertawa kaku, "Sejak kapan Chia berubah jadi Shila?"
Sejak kapan Chia berubah jadi Shila katanya? Oh, right. Dari mana Ihza harus mulai? Oke, mungkin sejak telfon berjam-jam hingga salah satu tertidur tetapi yang lainnya tidak langsung mematikan sambungan hanya karena ingin mendengarkan nafas orang yang berada di ujung lain telepon berubah menjadi telfon singkat seadanya lalu berubah menjadi voice mail yang tidak kunjung di dengarkan?
Mungkin. Tidak-tidak, bukan mungkin. Tapi ya, benar. Tapi tentu saja Ihza tidak mengatakan itu. Tentu saja Ihza tidak mengatakan itu ketika Chia– Shila adalah calon pengantin dari client Ihza yang menginginkan tema semi outdoor wedding dengan banyak bunga peony. Peony. Kalau bukan karena bunga peony sialan mungkin Ihza tidak akan beranggapan bahwa Shila masih mengingat konsep pernikahan impian mereka dulu.
Iya aku juga maunya di outdoor. Tapi harus banyak bunga peony, ya, Za. Karena peony berarti keberuntungan dan cinta sejati.
Tapi siapa yang Ihza bohongi? Bunga peony di pernikahan memang impian Shila. Di pernikahan Shila, bukan di pernikahan Shila dan Ihza. Ouch.
Ihza menjawab pertanyaan Shila dengan tertawa kaku juga. Ihza tidak bisa melakukan apa pun lagi, oke? Mungkin ia bisa, tetapi ia tidak ingin. Yang ia inginkan sekarang hanyalah lenyap dari bumi.
Untungnya Shila tetap menjawab, sehingga Ihza tidak perlu susah-susah mencari jawaban ini itu yang tidak relevan. "Aku baik, kamu?
Aku baik, kamu? Right. Baik. Jelas kabarnya baik. Ia akan menikah. Apa yang Ihza harapkan? Curahan kata 'i missed you i wish i'd stayed'? Mimpi.
Ihza tersenyum, seluruh wajahnya kaku. "Baik juga, hebat, malah."
"Bagus kalau begitu."
Hening lagi.
Kemudian, "Ihza, aku–"
Ihza tau apa yang akan Shila katakan. Ihza tau. Karena Ihza mengenal Shila, oke? Sangat mengenal Shila untuk mengetahui Shila akan membicarakan tentang masa lalu mereka dan mengutarakan seribu maaf atau seribu penjelasan, Ihza tidak peduli. Well, mungkin peduli. Tapi ia tidak bisa mendengarnya sekarang. Ia lelah dan ingin bergulung di selimutnya yang tebal, atau pergi ke pub, minum, sampai ia lupa bahwa Shila pernah kembali.
Karena itu Ihza menghentikannya. "Gimana tadi venuenya, Shil? Suka? Pertemuan selanjutnya kita akan lihat lagi venuenya, sih, bareng Mas Rizal. Beliau bilang begitu. Jadi lo masih bisa menimbang-nimbang apa lo suka atau nggak. Kalau nggak kita masih punya alternatif lain." Ihza melantur. Dan ia sadar. Tapi apapun untuk menghentikan pembicaraan tentang masa lalu dan perasaan. Hari ini sudah cukup melelahkan.
Mungkin Shila menyadari bagaimana Ihza mengganti topik dengan cepat. Ekspresinya jatuh, tetapi ia tetap menjawab. Membiarkan kata-kata yang tadi akan ia ucapkan tertelan kembali.
Beberapa percakapan canggung kemudian ponsel Shila berdering. Caller ID Mas Rizal muncul di layar. Ihza menyibukan dirinya dengan membaca beberapa update-an teman-teman kerjanya di Instagram agar tidak terlalu fokus pada percakapan Shila dan calon suaminya.
Setelah panggilan diakhiri, Shila membereskan barang-barang miliknya, menatap Ihza dengan meminta maaf ia berkata, "maaf aku pergi duluan. Aku harus ke kantor Mas Rizal, Za."
"Oh, iya. Nggak apa-apa. Santai aja. Gue juga mau ketemu temen habis ini."
Bohong.
Tapi sepertinya Shila percaya saja karena setelah itu ia beranjak dari kursinya, "Aku duluan, Za."
Ihza mengangguk. Lalu Shila berjalan keluar. Ini kedua kalinya Ihza menatap punggung Shila menjauh pergi.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Chap 2.
“Bro.” Ihza diam saja. Pura-pura tidak mendengar. Kalau Ihza berpura-pura masih tidur mungkin Rio akan pergi dengan sendirinya.
“Ihza.” Kali ini Rio membuka paksa selimut Ihza. Ihza masih diam saja.
Sesaat kemudian suara tirai dibuka dan cahaya matahari menembus masuk dan membuat Ihza menggeram. “Apa, sih, Yo? Kenapa, sih, lo rese banget?”
“Bro, Ihza, harusnya gue yang nanya. Lo kenapa?”
Ihza menaikan sebelah bahu. “Gue nggak apa-apa.” Tapi suaranya lesu.
Rio mendengus. “Don’t pull that bullshit on me, Ihza. Kita berdua sama-sama tau lo nggak ‘gapapa’ dari kemarin. Sejak meeting kita sama Mbak Shila, calon– “ ia berhenti sejenak seolah-olah menyadari sesuatu. Kemudian, “oh, shit.”
Ihza diam saja. Ihza tidak pernah mengatakan apa pun sejak pertemuan tidak terduga dengan Shila kemarin. Tapi Rio pasti bisa menghubungkan satu titik dengan titik lainnya.
Tau apa yang akan datang, Ihza diam saja. Seribu pertanyaan tentang bagaimana perasaan Ihza terhadap Shila sekarang, seribu pertanyaan tentang apa yang terjadi setelah ia pergi kemarin. Dan Ihza sedang tidak ingin membicarakan itu semua jadi ia diam saja.
Tapi siapa sangka yang dilakukan Rio selanjutnya adalah masuk kedalam selimut Ihza dan menepuk-nepuk bahunya sambil berkata, "I'm sorry, bro. I really am."
"It's okay. It really is."
Except, it really isn't.
❄️❄️❄️❄️❄️❄️
Hari senin ini Ihza akan kembali mengantar pasangan calon pengantin ke venue yang sama untuk memastikan apa mereka menyukai venuenya.
Hah. Apa poinnya kemarin Shila pergi sendiri, kalau begitu? Merepotkan.
Perjalanan menuju venue terasa begitu cepat. Tiba-tiba ia sudah sampai dan dihadapannya Shila dan Mas Rizal sedang berbincang. Mas Rizal membuat gestur lebar dengan tangannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin tempat yang terlalu besar. Entahlah. Ihza tidak terlalu peduli.
"Mas Rizal, Mbak Shila." Ihza menyapa dengan sopan. Well, sesopan yang ia bisa, karena ia mencoba menelan rasa pahit di mulutnya. Mencoba meredam segala emosi yang meledak-ledak. Ihza mencoba, oke? Ia benar-benar mencoba.
"Mas Ihza." Rizal mengangguk.
"Bagaimana, Mas? Mbak? Sudah membuat keputusan?" Tanyanya.
"Menurutku tempatnya terlalu besar." Kata Shila. Suaranya pelan.
"Bagus dong, Shi. Bisa muat banyak tamu."
"Memang mau mengundang beberapa orang rencananya?" Ihza menyela.
"700 atau 800." Kata Mas Rizal dengan mengangkat bahu, seolah tamu dengan jumlah seperti itu tidak banyak.
Ihza mengangkat kedua alisnya, jelas kaget. Lalu ia mengalihkan pandangannya pada Shila untuk menunjukkan rasa kagetnya, lalu ia ingat bahwa mereka bukan siapa-siapa lagi. Sehingga tidak seharusnya berkomunikasi dengan tatapan mata.
"700?" Tanya Shila kaget. "Aku nggak kenal orang sebanyak itu."
"Jelas kenal dong, Shi. Kan ada temen-temen kantor aku. Temen-temen kamu, keluarga kita."
"Aku mau pernikahan yang sederhana, Rizal. Cuma temen-temen dekat kamu, temen-temen dekat aku, keluarga kita...."
Namun Mas Rizal sepertinya tidak menyetujui itu karena ia melantur tentang bagaimana ia menginginkan pesta pernikaha besar dan diingat semua orang. Melantur bagaimana Shila akan menjadi pengantin paling cantik tahun ini.
Dan Ihza tidak bisa mendengarkan semua ini. Ia tidak bisa. Jadi ia memohon diri untuk menerima panggilan yang sebenarnya tidak ada.
Saat ia kembali, Mas Rizal dan Shila sedang duduk di bangku-bangku kayu bercat putih untuk tamu, berbincang dengan suara pelan dan sangat dekat seperti lupa dengan keadaan sekitar.
Ihza menghela napas sebelum berjalan mendekat.
"Bagaimana, Mas, Mba? Udah menentukan pilihan?"
Keduanya sedikit terkejut dengan keberadaan Ihza yang tidak terlalu tiba-tiba. Ihza tidak repot-repot meminta maaf, toh, Ihza daritadi memang di sini.
"Sudah," jawab Mas Rizal. "Kita mau lihat venue yang lain. Yang lebih kecil. Meskipun begitu, saya ada urusan mendadak. Saya serahkan semua persoalan sama Shila. Saya percaya dia."
Ihza mengangguk, mengalihkan pandangan pada Shila yang ternyata sedang menatap Ihza juga, lalu buru-buru menjatuhkan pandangannya ke tanah.
❄️❄️❄️❄️

I Heard a Little Love is Better Than None
22.18
Reading
0 komentar:
Posting Komentar